Monday, August 24, 2009

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi bin Kyai Utsman Al-Ishaqi

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi bin Kyai Utsman Al-Ishaqi

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi.
Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan
Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah
kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai
Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada
Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan
Giri.

Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman
Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena
Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.

Berikut silsilahnya:

Ahmad Asrori Al Ishaqi è Muhammad Utsman è Surati è Abdullah è Mbah
Deso èMbah Jaranga
è Ki Ageng Mas è Ki Panembahan Bagus è Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana
èPanembahan Agung Sido Mergi
è Pangeran Kawis Guo è Fadlullah Sido Sunan Prapen è Ali Sumodiro è Muhammad
Ainul Yaqin Sunan Giri è Maulana Ishaq è Ibrahim Al Akbar è Ali Nurul
Alam èBarokat Zainul Alam
è Jamaluddin Al Akbar Al Husain è Ahmad Syah Jalalul Amri è Abdullah
Khan èAbdul Malik
è Alawi è Muhammad Shohib Mirbath è Ali Kholi' Qasam è Alawi è Muhammad èAlawi
è Ubaidillah è Ahmad Al Muhajir è Isa An Naqib Ar Rumi è Muhammad An
Naqib èAli Al Uraidli
è Ja'far As Shodiq è Muhammad Al Baqir è Ali Zainal Abidin è Hussain Bin Ali
è Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai
tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya
bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat
serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun
1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan
kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.

Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli
Tamim (ayah KH. Musta'in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat
sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal
Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta'in (sekitar tahun 1977), beliau
mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.

Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota
metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai
Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai
Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini
berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori
inilah jama'ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang
amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan
Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.

Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang
berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya
ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada
seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu
pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori
mencegahnya. "Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang,
pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi", ujarnya.

Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok
Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok
tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan
lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu,
rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan
masjid yang cukup besar.

Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang
moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya
yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada
masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus
ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama.
Jama'ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal,
melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan
thariqah.

Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi
masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan
banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai
Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah
sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan
terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.

Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya
dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur
dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak
tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama "orong-orong", bermakna
binatang yang keluarnya malam hari. Jama'ahnya rata-rata anak jalanan alias
berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah
pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik
dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil
maupun militer.

Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara
mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai
pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada
tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk
melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana
sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai
Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah
pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan
pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah,
sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang
inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi social manapun. Meski
dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang
diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa
muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan
Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh
perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya.
Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini
diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di
Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya
yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia
dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia
bayangkan.

Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan
kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun
seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut
keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan
keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu
tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak
aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan
pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, "biarkan saja, anak macan
akhirnya jadi macan juga." Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat
mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya' Ulum
al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar
biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar
semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari
Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah
rahasia Tuhan, wallahu a'lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran
anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata "seandainya saya bukan
ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya." Barangkali itulah yang mendasari
Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain
yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun. []

Disadur dari berbagai sumber.